Senin, 02 November 2009

MEMBANGUN BELAJAR DINAMIS


MEMBANGUN BELAJAR DINAMIS MELALUI ORGANISASI

FARIED WADJDI, ELITA, LU'MU DAN ENTIN

Sub-sistem inti dari model organisasi belajar adalah belajar itu sendiri. Kecepatan, kualitas, dan pengaruh proses-proses belajar dan berisi bentuk dasar (pondasi) dan gizi yang mana didukung, dipelihara, dan mengalir melalui sub-sistem organisasi belajar lainnya.
Sub-sistem belajar (Gambar 1) terdiri dari tiga dimensi yang saling melengkapi: (1) Level-level belajar (individual, kelompok, dan organisasional); (2) jenis-jenis belajar (adaptif, antisipatori, deutero, siklus tunggal (single-loop) dan siklus rangkap (double-loop), serta merefleksikan tindakan/perbuatan); dan (3) keterampilan-keterampilan (berpikir sistem, model-model mental, penguasaan pribadi, belajar beregu, visi bersama, dan dialog).








Gambar 1. Subsistem Belajar

A.Belajar dalam Ketentuan Keorganisasian

Sebelum menguji masing-masing ketiga dimensi sub-sistem belajar ini, penting untuk memahami dan mengapresiasi beberapa prinsip belajar itu sendiri, khususnya saat dihubungkan dengan konteks keorganisasian.
Belajar secara umum didefinisikan sebagai sebuah proses bagi individu untuk mendapatkan pengetahuan dan wawasan baru yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan, yang terdiri dari domain kognitif (intelektual), domain afektif (emosional), dan domain psikomotor.
Edgar Schein, guru besar di Harvard, telah menulis sejumlah buku tentang belajar secara individu dan organisasi. Ia menegaskan bahwa bagi para individu dan organisasi yang ingin belajar secara kompeten, mereka sebaiknya pertama kali memahami bahwa ada beragam jenis belajar yang berbeda dimana memiliki horizon waktu yang sangat berbeda yang berkaitan dengannya dan yang dapat diterapkan pada tahapan belajar yang berbeda atau proses perubahan. Ia menyebutkan tiga macam perbedaan:
1. Kebiasaan dan keterampilan belajar (habit and skill learning). Jenis belajar ini lambat karena memerlukan latihan dan kesediaan si pembelajar untuk sementara waktu inkompeten. Untuk jenis belajar ini, diperlukan kesempatan berpraktek, peluang untuk membuat kesalahan, dan konsisten dalam memberikan respon yang benar.

2. Pengkondisian emosi dan keinginan belajar (emotional conditioning and learning anxiety) Jenis belajar ini adalah jenis yang paling potensial. Bila jenis belajar ini terjadi, maka ia akan berlangsung lama.

3. Menambah pengetahuan (knowledge acquisition). Kebanyakan dari teori belajar berimplikasi bahwa esensi belajar adalah memperoleh pengetahuan dan informasi melalui beragam macam kegiatan kognitif. Sudut pandang ini, menurut Schein, mengabaikan tiga hal:
• Belajar hanya dapat terjadi apabila si pembelajar mengenali permasalahan dan termotivasi untuk belajar.
• Walaupun memiliki wawasan, si pembelajar sering kali tidak dapat menghasilkan jenis perilaku atau keterampilan konsisten untuk memecahkan masalah.
• Wawasan secara otomatis tidak merubah perilaku, dan sampai perilaku berubah dan menghasilkan sesuatu yang baru, kita tidak mengetahui apakah sesuatu yang kita pelajari secara kognitif itu valid atau tidak.

Peter Senge, dalam The Fifth Discipline, (h. 191), sependapat bahwa “belajar memiliki sedikit hubungan dengan perolehan informasi. Belajar adalah sebuah proses tentang peningkatan kapasitas. Belajar adalah tentang membangun kapasitas (kemampuan) untuk menciptakan apa yang tidak dapat diciptakan sebelumnya. Belajar sangat berhubungan dengan tindakan, sedangkan informasi tidak.”
Belajar pada dasarnya adalah sebuah fenomena sosial – kemampuan kita untuk belajar dan apa yang dapat kita ketahui ditentukan oleh kualitas dan keterbukaan hubungan. Model mental kita pada dunia dan diri kita sendiri dapat mengembangkan hubungan-hubungan kita dengan orang lain. Berdialog dengan orang lain akan meningkatkan posibilitas belajar. Penting untuk diketahui bahwa belajar tidak sama nilainya atau penerapannya.

Pembelajaran yang Baru
Belajar dalam aturan keorganisasian masa kini, dibanyak hal, telah menjadi sebuah bentuk pembelajaran yang baru. Pembelajaran yang baru ini memiliki beberapa karakteristik tertentu:
1.Pembelajaran adalah berbasis hasil (misalnya, terikat pada sasaran bisnis).
2.Kepentingan ditempatkan pada proses belajar (belajar bagaimana untuk belajar)
3.Kemampuan untuk mendefinisikan belajar membutuhkan sama pentingnya dengan mencari jawaban-jawaban belajar itu sendiri.
4.Peluang keorganisasi menciptakan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap.
5.Sebagian belajar, adalah hasil dari kegiatan, konteks, dan kebudayaan yang dikembangkan dan digunakan.
6.Orang-orang lebih cenderung dan mampu untuk belajar yang merupakan kreasi mereka sendiri.
7.Keterampilan mempertahankan hidup yang kritis adalah merupakan kemampuan untuk mengetahui apa yang seharusnya diketahui dan dipelajari oleh seseorang.
8.Belajar berkelanjutan adalah penting untuk mempertahankan diri dan keberhasilan saat kini.
9.Fasilitator dapat mempercepat belajar dengan membantu orang-orang berpikir secara kritis.
10.Belajar haruslah mengakomodasi dan menantang kecenderungan model belajar yang berbeda.
11.Belajar adalah bagian dari pekerjaan, bagian dari deskripsi kerja setiap orang.
12.Belajar meliputi siklus, proses interaktif dari perencanaan, penerapan dan merefleksikan (umpan-balik) dari tindakan/perbuatan.

I. Level BelajarBelajar dalam organisasi dapat terjadi pada tiga tingkatan – individual, kelompok/tim, dan organisasi. Organisasi-organisasi belajar telah mengembangkan kapasitas dukungan dan memaksimalkan ketiga tingkatan tersebut.

1. Belajar Individual
Belajar individual diperlukan pada belajar keorganisasian karena individu-individu membentuk satuan-satuan kelompok organisasi. Peter Senge menegaskan bahwa “Organisasi-organisasi belajar hanya melalui individu-individu yang belajar. Belajar individu tidak menjamin belajar organisasi, tetapi tanpa belajar individu tidak terjadi belajar organisasi” (The Fifth Discipline, h. 236). Chris Argyris dan Donald Schon sependapat dan mengatakan bahwa “belajar individual adalah penting tapi kondisinya tidak cukup bagi organisasi belajar. Menurut John Redding, “belajar individual adalah penting untuk melanjutkan transformasi organisasi, untuk memperluas inti perusahaan, dan mempersiapkan setiap orang untuk masa depan yang tidak diketahui” (Strategic Readines, h. 3).
Karena itu, komitmen dan kemampuan masing-masing orang adalah hal yang penting. Kesempatan-kesempatan belajar individual meliputi belajar mengelola diri sendiri, belajar dari teman kerja, belajar melalui bantuan komputer, pengalaman kerja sehari-hari, penugasan khusus pada sebuah proyek, dan wawasan pribadi.
Ada sejumlah faktor penting yang dapat memberikan kontribusi pada peningkatan kekuatan dan dampak belajar individu dalam organisasi.

 Tanggung Jawab Belajar Secara Individu dan Kolektif. Setiap orang dalam organisasi belajar sebaiknya menyadari dan secara antusias menerima tanggung jawab tersebut untuk menjadi seorang pembelajar dan mendorong serta mendukung belajar orang lain. Setiap orang dapat bertindak sebagai pelatih, fasilitator, dan sumber bagi karyawan/pembelajar lainnya. Mereka juga sebaiknya memahami bagaimana tanggung jawab belajar ini bermanfaat bagi organisasi. Orang-orang sebaiknya tidak hanya mencoba untuk mengajar tetapi juga belajar dari rekan kerja mereka.

 Tempat dan Fokus Belajar Individual. Belajar sebaiknya menjadi hal yang konstan dalam lingkungan belajar, baik melalui pelatihan melalui kerja itu sendiri, system pendukung performasi elektronik, tindakan belajar, atau perencanaan reflektif.

 Belajar yang Dipercepat. Organisasi-organisasi belajar mencoba untuk menambah kemampuan individu untuk belajar lebih banyak informasi dalam waktu yang sedikit dan juga meningkatkan retensi (ingatan) melalui beragam teknik yang mempercepat belajar. Teknik-teknik belajar yang dipercepat (accelerated techniques) berkaitan dengan semua bagian otak dalam proses belajar bersamaan dengan fungsi-fungsi kesadaran dan sub-kesadaran mental. Hal ini memastikan bahwa setiap alat belajar dan penerimaan dimanfaatkan secara simultan dan sepenuh mungkin. Akselerasi belajar juga telah terbukti sangat efektif dalam membangun/membentuk inovasi, imajinasi, dan kreativitas kedalam proses belajar.
Beberapa akselarator yang paling kuat meliputi:
•Mnemonik untuk ingatan yang lebih luas.
•Musik untuk mengikat seluruh otak.
•Metapor-metapor untuk mengikat seluruh pembelajar pada konsep pengembangan dan transfer dari belajar.
•Lingkaran visi untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih kaya dan lebih terintegrasi.
•Pencahayaan, pewarnaan dan penataan ruangan akan dapat menciptakan penerimaan keadaan belajar
•Mindmapping atau information graphs akan membantu belajar, mengingat kembali, formasi konsep, generasi ide dan perencanaan

Akselerator yang berbeda akan bekerja lebih baik pada orang yang berbeda. Organisasi belajar sebaiknya menyediakan berbagai ragam pilihan bagi para pembelajar. Untuk meningkatkan akselerasi belajar, sejumlah prinsip-prinsip dasar berikut ini dapat memperkaya lingkungan belajar dengan mempertimbangkan:
•Menyediakan lingkungan yang alami, menyenangkan, penuh warna
•Membantu orang menghilangkan atau mengurangi setiap ketakutan, tekanan, atau rintangan-rintangan belajar.
•Mengakomodasi jenis-jenis, kecepatan, dan kebutuhan belajar yang berbeda.
•Menyediakan bahan-bahan dalam bentuk gambar sama baiknya secara verbal.
•Memelihara belajar sebagai usaha kolaboratif

 Rancangan Pengembangan Kepribadian. Individu-individu dalam organisasi-organisasi belajar melihat belajar sebagai sebuah jalan atau arah kehidupan daripada merupakan suatu peristiwa yang terjadi pada suatu waktu tertentu. Mereka mengakui bahwa para pemimpin tidak dapat menjamin pegawai bekerja selamanya tapi mereka dapat membantu mereka mencapai kemampuan sebagai pekerja seumur hidup. Harus ada kemitraan antara organisasi tersebut dan karyawan untuk membantu perkembangan karir kepegawaian untuk jangka panjang. Sejumlah organisasi-organisasi belajar sudah mengembangkan paket pengembangan kepribadian yang bermutu bagi para karyawannya.

 Kesempatan yang Banyak Tersedia bagi Pengembangan Profesional. Belajar individual dalam organisasi belajar secara konstan didorong, didukung, dipercepat, dan diuntungkan melalui sebuah sistem keorganisasian yang mengangkat pengembangan diri dan kemampuan-kepegawaian (employalibilitas) yang berkelanjutan. Peluang pengembangan professional ada untuk setiap orang dalam organisasi, tidak hanya untuk para manajer. Sumber-sumber daya yang ada meliputi pelatihan, seminar, lokakarya, bahan-bahan belajar diri, kelompok pengembangan, kursus, mentoring, dan bank data. Para pegawai diharapkan tidak hanya belajar keterampilan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka, tetapi juga keterampilan lainnya dalam satuan kerja mereka.

 Belajar Individu Berkaitan dengan Belajar Keorganisasian dengan Cara yang Jelas dan Terstruktur. Belajar didasarkan pada prestasi (performasi); yaitu, terkait erat dengan keperluan-keperluan bisnis. Belajar juga merupakan bagian integral dari semua operasi (pelaksanaan) dan proses keorganisasian. Belajar individual, baik kreatif maupun adaptif, dipindahkan ke database organisasi untuk transfer dan aplikasi di masa berikutnya.

2. Belajar BertimTim (kelompok) menjadi amat sangat penting dalam organisasi – baik dalam proyek lintas fungsional, bekerja pada saluran manufaktur, atau merencanakan ulang proses-proses bisnis. Untuk melengkapi kelompok-kelompok ini dengan pengetahuan dan keterampilan yang mereka butuhkan, organisasi harus mengajari mereka proses-proses yang kualitas, teknik pemecahan masalah, dan keterampilan interaksi kelompok.
Pada saat organisasi harus berhubungan dengan permasalahan yang lebih rumit, mereka tahu bahwa mereka harus terampil dalam belajar kelompok. Kelompok-kelompok kerja harus dapat berpikir dan menciptakan serta belajar sebagai sebuah kesatuan. Mereka harus belajar bagaimana belajar menciptakan dan menangkap dengan lebih baik. Belajar tim dapat dan harus terjadi ditiap kali sekelompok orang berkumpul – baik untuk rapat, proyek jangka pendek, atau untuk menyelesaikan permasalahan jangka panjang organisasi.
Belajar bertim sama sekali berbeda dari pelatihan kelompok. Ia lebih penting daripada mendapatkan keterampilan kelompok. Penekanannya ada pada pembelajaran mengelola diri sendiri dan kebebasan berpikir dan berkreativitas. Sistem belajar bertim yang berhasil memastikan bahwa kelompok itu saling berbagi pengalaman, baik negatif maupun positif, dengan kelompok lain dalam organisasi dan dengan cara demikian akan mengangkat perkembangan intelektual perusahaan.
Kelompok (tim) harus dapat membangkitkan pengetahuan melalui analisis permasalahan kompleks, perbuatan inovatif, dan pemecahan masalah bersama. Kelompok harus dapat belajar lebih baik dari pengalaman-pengalaman mereka sendiri dan sejarah masa lalu. Mereka sebaiknya bereksperimen dengan pendekatan-pendekatan terbaru dan secara cepat serta efisien memindahkan pengetahauan di antara mereka sendiri dan di seluruh organisasi.
Model belajar kelompok dari Watkins dan Marsick (Gambar 2) menangkap hubungan-hubungan dan belajar di antara individu, kelompok (tim), dan organisasi. Model ini menunjukkan organisasi belajar sebagai perpaduan individu-individu (segitiga bawah) dan organisasi (segitiga atas). Kunci dari model ini adalah saling melengkapi.
Organisasi-organisasi belajar mencoba untuk menciptakan batasan penuh dari kelompok. Kelompok-kelompok ini mengambil waktu untuk berefleksi, mempelajari tindakan. Mereka bertindak sebagai wahana-wahana yang menyebabkan asas perubahan-perubahan dan pembaharuan keorganisasian. Kelompok-kelompok ini tidak hanya didorong untuk menyelesaikan permasalahan yang ada, tetapi juga, menurut Redding, untuk “membangkitkan pemahaman pokok tentang bisnis (usaha) di sepanjang proses belajar kolektif.”
Belajar kelompok akan terjadi secara lebih cepat apabila mereka dihargai untuk belajar yang mereka berikan bagi organisasi. Belajar pada tingkatan kelompok memerlukan praktek dan refleksi. Belajar kelompok dengan tingkatan yang tinggi memungkinkan pemikiran kolektif dan komunikasi yang tinggi dan juga kemampuan untuk bekerja secara kreatif dan konstruktif sebagai sebuah kesatuan tunggal.






Gambar 2. Model Belajar Kelompok

3. Belajar Organisasi
Ray Stata, Presdien Analog Devices, membedakan belajar organisasi dari belajar individu dan kelompok dalam dua hal mendasar. Pertama, belajar organisasi terjadi melalui pembagian wawasan, pengetahuan, dan model-model kejiwaan dari para anggota organisasi. Kedua, belajar organisasi membentuk pengetahuan dan pengalaman masa lalu – yaitu, pada memori keorganisasian yang tergantung pada lembaga mekanisme (kebijakan, strategi, dan model yang jelas) yang digunakan untuk menguasai pengetahuan.
Walaupun belajar individu/kelompok dan organisasi saling berkaitan, namun belajar organisasi dilihat sebagai suatu hal yang lebih dari sekedar jumlah belajar individu atau kelompok. Sekalipun bahwa individu dan kelompok merupakan perantara yang harus digantikan oleh belajar organisasi, proses belajar dipengaruhi oleh luasnya aturan sosial, politik, dan variabel-variabel struktural. Ia melibatkan andil pengetahuan, keyakinan, atau asumsi di antara individu dan kelompok.

II. Jenis Belajar dalam Orgaisasi
Ada empat jenis belajar atau cara yang dipelajari organisasi: belajar adaptif, belajar antisipatori, belajar deutero, dan belajar aktif. Mereka tidak saling terpisah lebih dari satu jenis belajar pada waktu yang sama.

1. Belajar Adaptif (Adaptive Learning)
Belajar adaptif terjadi saat seorang individu atau sebuah organisasi belajar dari pengalaman dan refleksi. Proses dalam belajar adaptif adalah sebagai berikut: (1) organisasi mengambil tindakan dengan maksud mengidentifikasi tujuan organisasi selanjutnya; (2) tindakan tersebut dihasilkan dalam beberapa hasil internal atau eksternal; (3) perubahan yang terjadi dianalisis sesuai dengan tujuan; dan (4) tindakan atau perubahan dari tindakan sebelumnya dilandaskan pada hasil. Belajar adaptif dapat digambarkan sebagai berikut:
Tindakan  hasil  data hasil  refleksi
Belajar adaptif dapat berupa belajar simpul-tunggal (single-loop) atau simpul-ganda (double-loop). Belajar single-loop terfokus pada perolehan informasi untuk menstabilkan dan memelihara system yang sudah ada. Penekanannya ada pada deteksi kesalahan dan kebenaran. Belajar single-loop dikaitkan dengan pendapatan solusi langsung terhadap permasalahan atau halangan yang terdekat yang dihadapi oleh individu atau organisasi.
Belajar double-loop lebih mendalam dan melibatkan pertanyaan tentang system itu sendiri dan mengapa kesalahan atau keberhasilan terjadi pada kesempatan pertama. Belajar double-loop melihat pada norma-norma organisasi dan struktur yang lebih mendalam. Ia mempertanyakan tentang validitasnya dalam istilah keorganisasian, tindakan/perbuatan, dan hasil.
Schein mencatat bahwa kebanyakan organisasi dan individu tidak bersedia untuk terikat dalam belajar double-loop karena ia menyingkap kesalahan dan kekeliruan dan juga mempertanyakan tentang asumsi, norma-norma, struktur, dan proses.

2. Belajar Antisipatori (Anticipatory Learning) Belajar antisipatori muncul saat sebuah organisasi belajar dari harapan masa depan. Ia merupakan sebuah pendekatan visi-refleksi-tindakan terhadap belajar yang mencoba untuk menghindari hasil-hasil dan pengalaman negatif dengan mengidentifikasi peluang masa depan yang lebih baik dan juga menemukan cara untuk mencapai tujuan itu. Pendekatan “merencanakan sambil belajar” ini dipuji oleh perusahaan Royal Dutch Sell sebagai sebuah strategi yang bernilai tinggi pada belajar dan keberhasilan global yang memungkinkan mereka menangani penurunan tajam pada harga minyak. Belajar antisipatori dapat dirancang sebagai berikut: Visi refleksi  pendekatan tindakan

3.Belajar Deutero (Deutero Learning) Belajar deutero terjadi saat organisasi belajar dari refleksi kritis yang meyakini pada asumsi kebenarannya. Argyris dan Schon, keduanya guru besar di Harvard dan penulis sejumlah buku tentang perilaku organisasi, menyebut hal ini dengan “belajar tentang pelajaran.” Ketika sebuah perusahaan terikat pada jenis belajar ini, maka para anggotanya mengetahui tentang konteks keorganisasian masa lalu terhadap belajar. Hasil-hasil yang didapatkan ditulis (disandikan) dan direfleksikan dalam praktik belajar organisasi.

4. Action learning (Action learning ) Salah satu yang paling berharga bagi belajar keorganisasian adalah belajar tindakan. Action learning adalah gagasan/pemikiran dari Reginald Revans, salah satu arsitek awal konsep belajar organisasi, yang mulai mengembangkan elemen-elemen action learning lebih dari 50 tahun yang lalu.
Action learning melibatkan pekerjaan pada permasalahan yang nyata, terfokus pada belajar yang didapatkan, dan benar-benar menerapkan solusi. Ia menyediakan metode akselerasi belajar yang baik yang memungkinkan orang untuk belajar lebih baik dan menangani situasi yang sulit secara lebih efektif. Digunakan sebagai sebuah proses sistematis, ia meningkatkan belajar dalam sebuah organisasi sehingga organisasi itu dapat lebih efektif merespon perubahan.
Bagi Revans, “Tidak ada belajar tanpa tindakan dan tidak ada tindakan tanpa belajar.” Persamaan dari belajar itu adalah: Belajar = pembelajaran terprogram (misalnya, pengetahuan masa kini) + Tanya (wawasan segar tentang apa yang belum diketahui), atau, B = P + T . Action learning dibangun di atas pengalaman dan pengetahuan individu atau kelompok dan pengetahuan terbaru.

General Electric (GE) dan Action learning (General Electric and Action learning). Beberapa perusahaan sudah membuat manfaat yang luas terhadap rangkaian tindakan belajar untuk belajar dan mencapai keberhasilan organisasi. Perusahaan General Electric salah satunya, telah menganggap action learning sebagai sebuah strategi penting dalam mentransformasikan GE kedalam sebuah organisasi yang memiliki pemikiran global dan berubah dengan cepat.
Kelompok (tim) action learning dibangun di sekitar permasalahan GE yang nyata dan relevan serta memerlukan keputusan. Format boleh beragam, tapi secara khusus, terdiri dari dua tim dengan anggota 5 sampai 7 orang yang berasal dari beragam usaha dan fungsi di GE yang bekerja sama dalam proyek tersebut. GE telah membentuk peluang proyek action learning terhadap umpan balik bagi peserta pada strategi-strategi dan poko-pokok permasalahan mengenai kepemimpinan dan keterampilan kerja tim. Para peserta juga memiliki peluang untuk merefleksikan pengalaman belajar secara total.
Di samping bangunan tim, action learning telah mensuplai para peserta dengan sebuah konteks yang berhubungan dengan persoalan-persoalan multikultur dan global. Action learning membuat partner berpatisipasi secara aktif dalam proses belajar.

III. Keterampilan Belajar/Disiplin
Dalam karya klasiknya, The Fifth Discipline, Peter Senge mengidentifikasi lima disiplin atau keterampilan belajar yang akan memudahkan transisi perusahaan pada sebuah organisasi belajar.

1. Berpikir Sistem (Systems Thinking)
Berpikir sistem adalah sebuah kerangka kerja konseptual untuk membantu membuat pola-pola yang lebih jelas dan membantu kita melihat bagaimana merubah pola-pola ini secara lebih efektif. Ia adalah sebuah “disiplin untuk melihat secara keseluruhan,” kata Senge, “sebuah kerangka kerja untuk interrelationship daripada mata rantai sebab-akibat, untuk melihat struktur-struktur pokok daripada kejadian, untuk melihat pola-pola perubahan daripada gambar (The Fifth Discpline, h. 68).
Berpikir sistem, dan khususnya, dinamika sistem, dapat menjadi sebuah alat yang sangat bermanfaat untuk memudahkan organisasi belajar. Dinamika sistem mengakui bahwa organisasi seperti jaringan-kerja raksasa yang saling berhubungan kutubnya. Perubahan yang direncanakan atau tidak dalam satu bagian organisasi dapat mempengaruhi bagian organisasi lain secara mengejutkan, seringkali berakibat konsekwensi negatif.

2. Penguasaan Pribadi (Personal Mastery)
Penguasaan pribadi merujuk pada kecakapan khusus, serupa dengan penguasaan para ahli yang berkomitmen pada belajar sepanjang hayat agar terus dapat meningkatkan dan menyempurnakan keterampilannya. Ia merupakan disiplin untuk terus menjelaskan dan memperdalam visi pribadi, energi, dan kesabaran seseorang. Senge melihat penguasaan pribadi sebagai sebuah landasan penting bagi organisasi belajar, karena komitmen organisasi dan kapasitas belajar tidak lebih baik dari komitmen dan kapasitas belajar setiap individu.
Penguasaan pribadi memerlukan komitmen untuk melanjutkan belajar pada semua tingkatan organisasi. Termasuk mendorong semua jenis pengembangan pengalaman untuk setiap anggota dalam organisasi belajar. Hanya sedikit organisasi mendorong penguasaan pribadi pada semua anggotanya.

3. Belajar Bertim (Team Learning)
Belajar bertim (keterampilan, bukan tingkatan seperti yang digambarkan di atas) terfokus pada proses menyatukan (menyerasikan) dan mengembangkan kapasitas belajar dari sebuah tim untuk menciptakan belajar dan hasil-hasilnya yang ditentukan oleh para anggotanya.
Kebanyakan tim tidak melakukan belajar. Karakteristik dasar yang secara relatif tidak menyatukan kelompok/tim akan menyebabkan rasa frustasi dan menghabiskan energi. Individu-individu bisa saja bekerja dengan sangat keras, tetapi usaha-usaha mereka tidak ditransformasikan kedalam usaha efisiensi bertim .
Sebaliknya, saat tim lebih serasi/kompak, maka komunalitas arah akan muncul, dan mengharmonisasikan energi-energi individu, dan sedikit energi yang dihabiskan. Faktanya, seperti kata Senge, “gema atau sinergi berkembang, seperti sinar lampu laser daripada sinar lampu biasa” (The Fifth Discipline, h. 234).
Belajar bertim melibatkan kebutuhan untuk berpikir secara penuh tentang persoalan-persoalan kompleks agar tim-tim tersebut dapat belajar bagaimana membuka potensi berbagai pikiran. Untuk menjadi lebih cerdas dari satu pikiran, maka ia membutuhkan inovasi, tindakan yang terkoordinasi. Tim yang solid dalam organisasi mengembangkan kepercayaan dimana setiap anggota tim sadar akan keanggotaan yang lain dari tim mempunyai arti dan cara tindakan mereka akan ikut diperhitungkan sebagai tindakan dari anggota tim yang lain.
Ada tiga hal penting untuk melangsungkan belajar bertim:
1. Kebutuhan untuk berpikir secara penuh tentang persoalan-persoalan kompleks agar tim tersebut dapat belajar bagaimana membuka potensi pikiran secara kelompok agar lebih cerdas dibandingkan hanya satu pikiran.
2. Kebutuhan untuk berinovasi, mengkoordinasikan tindakan.
3. Kemampuan untuk mendorong dan merangsang belajar dengan tim lainnya.

4. Model-model Mental (Mental Models)
Model mental adalah bayangan atau perspektif kita tentang sebuah peristiwa, keadaan, kegiatan/aktivitas atau konsep. Ia merupakan asumsi yang sangat melekat yang mempengaruhi bagaimana kita memahami dunia dan bagaimana kita mengambil tindakan. Contohnya; setiap kita mempunyai model mental yang berbeda tentang sekolah atau tentang orangtua atau tentang pemerintah yang didasari atas pengalaman awal, persepsi-persepsi ataupun perkembangan yang dibawa sewaktu pertumbuhan.
Model-model mental tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada keadaan yang berbeda sangat beragam dari pribadi ke pribadi, dan sangat sulit untuk berubah. Senge menekankan agar pekerjaan disiplin dengan model-model mental dimulai dengan individu dan organisasi membalikkan cermin ke jiwanya, agar belajar bagaimana menggali gambar atau bayangan internal dan kemudian membawanya ke permukaan serta menelitinya dengan cermat. Ini meliputi, kata Senge dalam The Fifth Discipline, kemampuan “untuk mengangkat percakapan yang berarti yang mengimbangi penelitian dan dukungan, di mana orang-orang menyingkap pemikiran mereka sendiri secara efektif dan membuat pemikiran tersebut terbuka dan dapat mempengaruhi orang lain.” (h. 9).

5. Visi Bersama (Shared Vision)
Sulit memikirkan setiap organisasi yang telah mencapai dan memperoleh keberhasilan tanpa adanya shared vision yang mendalam. Perusahaan Taco Bell memiliki visi nomor satu dalam selera, Federal Express dengan visi benar-benar satu malam yang positif, dan Polaroid dengan visi foto instan. Masing-masing organisasi ini dapat mengikat orang-orang pada identitas umum dan rasa memiliki perusahaan tersebut.
Ketika terdapat visi yang benar-benar terbagi, orang-orang cenderung untuk mengatasi dan belajar, bukan karena mereka ditekan untuk melakukannya, tetapi karena mereka sunguh-sungguh menginginkannya.
Shared vision bermanfaat bagi belajar organisasi karena ia memberikan fokus dan energi untuk belajar. Apabila belajar adaptif memungkinkan terjadi tanpa shared vision, belajar generatif, menurut Senge, terjadi “hanya jika orang-orang bekerja keras untuk menyelesaikan sesuatu yang membebani mereka.”

6. Dialog
Dialog adalah komunikasi yang intensif dan berkualitas tinggi. Dialog membutuhkan eksplorasi yang bebas dan kreatif terhadap persoalan-persoalan tak kentara, saling mendengarkan satu sama lain, dan menggantungkan sudut pandang orang lain.
Disiplin tentang dialog melibatkan belajar bagaimana mengenali pola-pola interaksi dalam kelompok/tim yang mengangkat (mempromosikan) atau mengurangi belajar. Dialog merupakan sebuah medium untuk berhubugan, menyelidiki, dan mengkoordinasikan belajar dan tindakan ditempat kerja. Disiplin terhadap dialog adalah penting bagi belajar organisasi karena ia mengangkat pemikiran dan komunikasi. Dialog (a) memungkinkan organisasi menyingkap dengan lebih baik kecerdasan kolektif dari kelompok, (b) mengarahkan kita untuk melihat dunia sebagai kuantum keseluruhan dibandingkan bagian-bagian yang terpisah, dan (c) memaksa kita untuk terfokus pada penemuan dan mencari tahu bagaimana dan mengapa persepsi internal mempengaruhi bagaimana kita menerima kenyataan. Schein menggambarkan perbedaan antara dialog dengan konsep “diskusi,” “debat,” dan proses komunikasi lainnya seperti pada Gambar 3.







Gambar 3 Cara debat/ diskusi/ berbincang

Dalam percakapan (dialog) yang berjalan dengan baik, orang-orang memiliki kemampuan untuk:
• Mengenali langkah abstraksi (ketika mereka melompat dari sebuah pengamatan ke generalisasi)
• Menungkapkan apa yang mereka tidak katakan sewaktu mereka melakukan percakapan
• Menyeimbangkan penyelidikan dan advokasi
• Menghadapi perbedaan-perbedaan di antara teori-teori pendukung (apa yang mereka katakan) dan teori-teori yang sedang digunakan (menerapkan teori atau bayangn pada apa yang mereka lakukan)

B. Kapasitas Belajar dalam Organisasi
John Redding, pengarang buku Strategic Readiness: The Making of a Learning Organization, telah mengidentifikasi tiga dimensi saat seseorang membangun kapasitas belajar dari organisasi:
1. Kecepatan belajar, yang merujuk pada seberapa cepat organisasi dapat merotasi siklus belajar (misalnya, perencanaan, implementasi, dan refleksi) dan melengkapi perulangan (iteration).
2. Kedalaman belajar, yang merujuk pada tingkat yang mana organisasi dapat belajar di akhir masing-masing iterasi dari siklus tersebut dengan mempertanyakan asumsi-asumsi yang ada dan meningkatkan kapasitas mereka untuk belajar di masa yang akan datang.
3. Keluasan belajar, yang dikaitkan dengan seberapa ekstensifnya organisasi dapat mentransfer wawasan dan pengetahuan baru yang berasal dari masing-masing iterasi siklus belajar tersebut kepada pokok-pokok persoalan lainnya dan bagian-bagian dari organisasi tersebut.

Lama Baru
Supervisor Pelatih
Setiap orang Pembelajar-pembelajar Lanjutan ???
Keterkaitan Kesempatan-kesempatan Belajar
Kantor Lingkungan belajar lanjutan






Gambar 4 Paradigma Bergeser di Andersen

Pergeseran dari Latihan menuju Fokus Belajar
Sampai sekarang ini, fokus Andersen, seperti latihan di sebagian besar perusahaan, adalah membuat pembelajaran lebih efisien. Fokus latihannya adalah pada isi dan pelatih, yang dihadapi, dan mendapatkan jawaban yang benar. Latihan mentrasper ini didasarkan atas asumsi-asumsi sebagai berikut:
 Semua pembelajar memiliki ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan tingkat masuk dasar yang sama.
 Orang mempelajari banyak hal dalam cara yang sama
 Mendengar adalah sama seperti belajar
 Perubahan-perubahan dapat diproduksi secara efisien dengan fokus-fokus pada perilaku-perilaku yang diamati daripada fokus pada cara berfikir.
Model lama, tidak ada kenyataan yang berhubungan dengan apa yang terjadi pada si pembelajar secara internal, tidak peduli apakah ia bosan atau dipadati dengan perintah. Pembelajar sering tidak mengerti sepenuhnya isi yang diajarkan, dan karena itu tidak dapat diaplikasikannya.
Beberapa tahun yang lalu, Andersen memutuskan bahwa diperlukan pendekatan baru untuk pendidikan profesionalnya, bahwa pendekatan latihan yang dideskripsi diatas perlu direkayasa. Hanya dengan suatu perubahan yang radikal dalam metodologi dan strategi latihan, maka Andersen menemukan lima syarat mengidentifikasi latihan kritis dan kebutuhan pendidikan, yaitu: (1) mengembangkan ketrampilan-ketrampilan yang lebih luas dan lebih dalam, (2) mendidik pakar-pakar yang mampu melayani jasa tidak semerawut terhadap klien, (3) berfokus kepada perubahan proses bisnis dan integrasi, (4) menyeimbangkan perkembangan ketrampilan yang unik dan biasa, dan (5) beradaptasi untuk kerumitan dan perubahan yang berlanjut.
Model belajar baru menurut Andersen bahwa proses belajar mendapatkan jawaban yang benar adalah isu yang sangat penting. Kritikalnya bagaimana membuat belajar lebih efisien dan efektif. Model baru dari pengembangan staf menurut Andersen berpusat pada si pemelajar sebagai pengambil keputusan, pemilih dari berjenis alat yang disediakan dan sumber-sumber untuk belajar tergantung kepada kebutuhan individu untuk sukses. Si pembelajar membutuhkan perluasan belajar.

PERNYATAAN VISI ANDERSEN
Untuk menjadi satu perusahaan global yang berkomitmen pada kualitas dengan mempunyai orang terbaik dengan modal pengetahuan, bermitra dengan klien yang membawa nilai. Visi ini mencakup tujuh komponen:
Satu Perusahaan Global
Kekuatan budaya nasional untuk mengakses keterampilan melayani klien dimanapun di seluruh dunia. Kami melayani klien dengan tingkat layanan jasa yang tinggi tidak peduli dimanapun lokasi klien.
Komitmen untuk Kualitas
Satu tujuan dalam jasa layanan pengiriman adalah kualitas. Orang-orang diberikan wewenang dan diharapkan berkontribusi terhadap tujuan ini. Kesuksesan ditentukan oleh kepuasan klien.
Orang Terbaik
Karena memiliki kebaikan maka membuat orang tertarik. Dengan ketertarikan orang, maka dia dilatih dan ditingkatkan lebih jauh sehingga dia berada diluar tim profesional.


Modal Pengetahuan
Kita berbagi pengetahuan untuk megakses klien kita melalui pemikiran terbaik kita. Fokus bisnis adalah menciptakan ilmu dan kemampuan kita untuk mendistribusikannya secara global.
Kemitraan
Kita ingin klien memandang kita sebagai bagian dari tim mereka, pada saat membantu mereka mengatasi tantangan yang kompetitif. Sebagai mitra, kita memahami nilai kerja tim.
Klien-klien Terbaik
Kita bekerja dengan klien yang menginginkan menjadi lebih baik, bukan hanya dalam status quo.
Menyalurkan Nilai
Kita menyalurkan secara praktek dengan berbagai solusi yang dapat dipercayai dan terintegrasi. Ketika kita setuju bahwa klien sudah mendapatkan layanan jasa terbaik kita, itu maknanya telah menyalurkan nilai.




Gambar 5 Pernyataan Visi Andersen

Menurut Joel Montgomery, pakar pendidikan di Andersen Center untuk Pendidikan Profesional, para pembelajar sekarang “lebih aktif dalam proses belajar, dan secara bersama-sama bertanggungjawab atas belajar mereka. Para murid diminta menggunakan apa yang sudah mereka pelajari daripada mengulang atau mengidentifikasi apa yang sudah diekspos.”
Andersen sekarang merancang program-program belajar dalam suatu cara yang menstimulasi para murid/pembelajar untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang memudahkan mereka untuk memfokuskan belajar pada apa yang mereka ketahui dan mereka butuhkan. Dalam proses, mereka diberikan alat untuk berefleksi pada apa yang sedang mereka kerjakan, mengevaluasinya menruut standar, dan memberi dan menerima umpannbalik tentang apa yang sedang mereka kerjakan atau pelajari. Setelah mereka mengalami proses, Montgomery mencatat, “Kami lagi-lagi menstimulasi mereka untuk terlibat kembali dalam belajar, membawa mereka pada apa yang mereka pelajari pertama kali, kembali merefleksi, mengevaluasi, dan memberi serta menerima umpanbalik tentang apa yang sedang mereka kerjakan dan pelajari. Ini membuat belajar yang lebih dalam dan luas.”
Pandangan mengenai belajar berfokus kepada apa yang terjadi pada pembelajar secara internal dan ini mendorong kepekaan untuk pembelajar sewaktu pemelajaran terjadi. Pendekatan-pendekatan pembelajaran disesuaikan untuk memeuhi kebutuhan-kebutuhan pembelajar secara individual. Pandangan ini merepresentasikan sebuah pergeseran paradigma dari pendekatan instruksional desakan-suplai menuju pendekatan tarikan-permintaan.

Belajar Mandiri, Belajar di Titik-Kebutuhan
Untuk mempromosikan dan memudahkan perkembangan diri yang berkelanjutan, Andersen semakin fokus menyarankan belajar mandiri, berlatih pada titik-kebutuhan dengan menyediakan staf peluang-peluang untuk belajar melalui melakukan dan mengembangkan ketrampilan-ketrampilan individu. Karena kebutuhan-kebutuhan latihan individu bermula dari penugasan pekerjaan individu tersebut, latihan ketrampilan yang dapat-terakses berdasarkan permintaan sudah menjadi semakin penting.
Latihan Andersen berciri fleksibilitas untuk membangun pengembangkan keterampilan-keerampilan kerja yang bersifat kritis di level individu. Fokusnya adalah tentang kebutuhan yang meningkat dan keuntungan-keuntungan dari pembelajaran pacuan-diri yang terindividualisasi sebagaimana yang ditentukan oleh si pembelajar. Pembelajaran harus semakin disediakan atas dasar hanya-tepat-waktu, karena sebagian besar belajar terjadi sebelum saatnya seperti ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan yang harus dimiliki sebelum diterapkan.
Dengan bantuan teknologi dan strategi-strategi belajar yang baru, Andersen sukses mengembangkan latihan belajar mandiri multimedia interaktif yang secara signifikan lebih efektif daripada latihan yang diarahkan isntruktur tradisional. Andersen sudah mendemonstrasikan sendiri dimana mungkin untuk mengembangkan latihan pembinaan-ketrampilan yang efektif dalam format belajar mandiri.
Menurut Andersen, jalur kunci menuju kepenguasaan pribadi adalah perkembangan ketrampilan-ketrampilan metakognitif, dimana para pembelajar secara individual belajar bagaimana untuk belajar. Perusahaan menyadari bahwa semakin bersifat metakognitif ketrampilan- ketrampilan yang dapat diperoleh individu, semakin kuat kesempatan-kesempatan untuk terus berubah.

Action Learning
Andersen sudah menempatkan fokus yang tinggi pada belajar dari pengalaman (termasuk refleksi) di semua level organisasi, meskipun sebagai alat untuk membangun ketrampilan-ketrampilan eksekutif di level mitra. Melalui organisasi, ada dorongan untuk mengerakan action learning hanya pada lingkungan latihan ke lingkungan kerja.
Contoh dari action learning yang berkelanjutan yang dirancang ke dalam proses Andersen adalah kepelatihan dan kerangka belajar yang berkelanjutan untuk belajar antara pengawas (coach/pelatih) dan karyawan (pembelajar/murid), yang mencakup perencanaan, penerapan, dan refleksi (lihat Gambar 6).






Gambar 6. Contoh action learning

Perencanaan (antara pelatih dan pembelajar, jadilah sebagai pemandu sipembelajar sedapat mungkin)
 Menentukan kesenjangan antara pengetahuan-pengetahuan atau ketrampilan-ketrampilan pembelajar yang ada dengan keterlibatan atau pengikutsertaan (peluang belajar).
 Mengembangkan tujuan-tujuan belajar dan rencana untuk mencapai tujuan-ujuan tersebut.
 Melengkapi identifikasi pra-tugas belajar.

Aplikasi
Tanggungjawab Utama Pelatih
 Melatih pembelajar berdasarkan kebutuhan belajar (spesifik dengan kerja, fungsional dan adaptif).
 Memberikan pembelajar kesempatan atau peluang yang diperlukan
 Memastikan pembelajar memiliki akses untuk referensi-referensi dan alat-alat
 Memberi pedoman dan umpanbalik ketika diperlukan
Tanggungjawab Utama Pembelajar
 Menerapkan ketrampilan-ketrampilan / pengetahuan yang diperlukan.
 Menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang ada
 Bercermin pada tugas terkini yang sedang dipelajari
 Meminta bantuan dan umpanbalik ketika diperlukan

Refleksi
 Mengambil waktu untuk berefleksi pelajaran-pelajaran yang dipelajari
 Menentukan bagaimana pelajaran-pelajaran yang dipelajari dapat diterampilkan di masa depan.
 Memberi umpanbalik tentang seberapa baiknya pegawas dan pengawas melakukan berkenaan dengan pembelajaran lanjut dan kepelatihan
 Mendiskusikan apa yang dapat dilakukan dengan lebih baik, dan juga mengenalnya dan menghargai apa yang diselesaikan.
 Berbagi bersama apa yang sudah dipelajari dengan orang lain yang mungkin mendapati wawasan itu berguna.

Belajar Kolaboratif
Andersen sudah mengimplementasikan belajar kolaboratif, yang terdiri atas pekerjaan grup kecil dimana anggota-anggota grup belajar dari satu sama lain dengan bekerja bersama. Ini menciptakan lingkungan belajar yang kaya dimana si pembelajar menggunakan beragam peran, termasuk peran instruktur. Pendekatan ini mempromosikan sharing gagasan-gagasan dan pengetahuan. Dan memudahkan para pembelajar mereview karya orang lain. Juga memudahkan mereka melatih, memodel, mengajarkan dan belajar dengan menggunakan kemampuan-kemampuan dari anggota-anggota tim dan sinergi tim sbg bagian dari proses belajar.

Belajar dari orang-orang lain – Parktek Terbaik Global
Andersen sudah menempatkan prioritas besar saat mengembangkan dan memanfaatkan basis pengetahuan “praktek-praktek terbaik global”. Basis pengetahuan ini mengidentifikasi dan mendeskripsi praktek-praktek terbaik, perusahana-perusahaan terbaik, pengalaman-pengalaman keterlibatan, studi-studi dan tulisan-tulisan, ukuran-ukuran performa, diagnostika, definisi-definisi proses, dan pakar poses Arthur Andersen.
Lebih dari 1000 disc CD ROM mengenai basis pengetahuan sudah didistribusikan di seluruh dunia. Bengkel-bengkel kerja bidang praktek global terbaik sudah dilakukan utnuk staff Andersen di kantor-kantor di seluruh dunia. Basis pengetahuan adalah alat belajar yang kuat bagi staf Andersen dan juga layanan berharga yang dapat ditawarkan kepada kalangan klen.
Andersen juga berusaha bermitra dengan perusahaan-perusahaan “pengetahuan” seperti memperluas kecakapan industri. Dewasa ini Senn-Deaney, perusahaan internasional yang berspesialisasi dlm perbaikan laa ritel, dan Venture Associate, dalamyang berspesialisasi dlm industri utilities/kegunaan, dikontrak untuk bekerja dengan perusahaan.

Partisipasi Konferensi dan Asosiasi
Andersen memiliki strategi untuk memdapatkan dan berbagi pengetahuan melalui latihan, penelitian, dan partisipasi dalam asosiasi perdagangan dan asosiasi profesi. Perusahaan juga memproduksi publikasi-publikasi untuk kegunaan secara internal dan eksternal dengan judul-judul seperti Retail Customer Satisfaction and Merchandising (Kepuasan Pelanggan Ritel dan Barang Dagangan), Integrasi Kesehatan Dokter,dan tanda Vital: Menggunakan waktu Kualitas dan Tindakan-tindakan Performa Biaya untuk Menggrafikan Masa Depan Perusahaan Anda.
Guna memaksimalkan transfer in-house tentang partisipasi konferensi, Andersen berusaha memiliki sedikitnya tiga anggota staf menghadiri seminar-seminar atau konferensi-konferensi yang diidentifikasikan penting bagi perusahaan. Layanan sebagai presenter-presenter di konferensi-konferensi yang dipromosikan tidak hanya untuk reputasi yang diperlukan, tetapi juga memperluas kualitas persiapan, penelitian dan ketrampilan-ketrampilan belajar oleh peserta.

Teknologi untuk Belajar
Andersen mengenal bahwa kesuksesan global lanjutnya terikat pada ketrampilan-ketrampilan teknologi yang sudah diangkat dan dikembangkan perusahaan. Perusahaan mempertimbangkan kemampuan teknologi layanan jasa – kliennya sebagai salah satu dari senjata-senjata kompetitif yang sangat kuat.
Di tahun 1994, perusahaan membuka Pusat Andersen Consulting untuk Penelitian Strategi di Bukit Silicon California, secara sengaja mendekati para inovator yang dekat, sehingga mempercepat kemampuan Andersen untuk mempengaruhi dan menerapkan perkembangan terakhir dari teknologi ini dan organisasi-organisasi penelitian. Inisiatifnya adalah Infocosm yang merupakan penciptaan model kerja mengenai jalan raya informasi.
Untuk memfasilitasi pertukaran modal pengetahuan perusahaan, Andersen mengembangkan tim untuk menciptakan dan mengimplementasikan sistem penyampaian modal pengetahuan. Diharapkan menjadi salah satu dari penerapan-penerapan pengetahuan terbesar yang pernah dikembangkan, sistem akan menyimpan dan menyebarkan metodologi-metodologi Andersen Consulting, praktek-praktek terbaik industri, dan materi-materi referensi.

Maju melalui Strategi Belajar
Untuk mencapai misi perusahaannya, Andersen mengembangkan kemajuannya melalui strategi belajar. Andern memutuskan bahwa harus diintegrasikan teknologi-teknologi maju yang memudahkan pengiriman dan pengembangan latihan yang seragam, teori-teori pendidikan yang efektif dan kuat dan prakek-praktek terbaik dan pendekatan dukungan performa yang memastikan ketepatan waktu latihan dan relevansi.

Skenario-skenario Berbasis Sasaran
Andersen baru-baru ini sudah memperkenalkan latihan GBS (skenario berbasis sasaran). Inti dari GBS adalah tugas yang tersimulasi yang menjelaskan kepada para peserta ketrampilan-ketrampilan apa yang mereka butuhkan dan mengapa demikian. Masalah-masalah apa yang cenderung mereka temui, dan kapan; apa yang merupakan sarana sangat efektif untuk menangani kendala atau masalah tersebut, dan mengapa mereka itu efektif. Belajar dan mengajar selalu terjadi dalam konteks kebutuhan yang diyakini dengan jelas. GBS menyediakan kerangka kerja motivasional yang berfungsi tidak hanya memfasilitasi akuisisi atas ketrampilan-ketrampilan individu dan fakta-fakta, tetapi juga memudahkan para siswa memahami bagaimana ketrampilan-ketrampilan ini dan fakta-fakta ini dapat menyelesaikan masalah-masalah bisnis klien.
Sumber aslinya oleh Roger Schank, direktur Lembaga untuk Ilmu-ilmu Belajar di Universitas Northwestern, GBS sederhananya bukanlah simulasi realistis dari situasi masalah. Agaknya, seperti yang dinyatakan mitra rekan Andersen Alan Nowakoski, GBS adalah “kecerdasan, yang dikonstruksi secara cermat untuk mengajar ketrampilan-ketrampilan spesifik, pelajaran-pelajaran, pengetahuan, dan kemampuan-kemampuan. Misalnya penyingkapan skenario harus dikontrol sehingga pembelajar atau murid melihat semua konsekwensi-konsekwensi yang penting untuk tindakan atau aksi mereka, yaitu baik dan buruk.”
GBS mencakup komponen-komponen sebagai berikut:
1.Para pembelajar dihadirkan dengan sasaran akhir yang memotivasi dan menantang.
2.Sasaran distruktur sehingga, untuk secara sukses memenuhinya, maka para pembelajar diminta membangun perangkat ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan utama yang ditentukan sebelumnya.
3.Lingkungan bersifat holistik. Ketrampilan-ketrampilan dan pengetahuan diajarkan sebagai bagian dari keseluruhan terpadu,
4.Lingkungan belajar dirancang untuk mengambil manfaat dari pengalaman yang berbeda, latarbelakang-latarbelakang budaya, kepentingan-kepentingan,dan motivasi-motivasi para pembelajar.
5.Para murid atau pembelajar mampu mengeksplorasi dan mengembangkan selain dari perangkat ketrampilan-ketrampilan yang ditentukan sebelumnya.
6.Para pembelajar memiliki kebebasan untuk menyeleksi strategi-straetgi mereka sendiri untuk memenuhi sasaran tujuan.
7.Tekanan pada level adalah pada pengelolaan yang cocok dengan memasukkan refleksi, fokus yang asli pada belajar dan ketersediaan sumberdaya-sumberdaya yang mudah untuk digunakan yang mendukung pengejaran si pembelajar akan sasaran akhir.

Minggu, 01 November 2009

MEDIA SEDERHANA UNTUK SUATU PEMBELAJARAN

MEDIA SEDERHANA UNTUK SUATU PEMBELAJARAN

Oleh: Faried Wadjdi•

A. Pendahuluan
Kenapa guru (calon guru) kita harus menggunakan media dalam suatu pembelajaran!, apakah tidak ada cara lain yang dapat dilakukan sehingga guru harus menggunakan media.
Sampai saat ini model pembelajaran yang masih dan banyak digunakan oleh guru adalah tatap muka. Dalam hal ini, seorang guru menyajikan materinya langsung pada peserta didiknya, dan peserta didiknya memperhatikan dan kemudian guru memberikan kesempatan bertanya pada peserta didiknya. Bila materi mengandung unsur praktek, guru kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Model pembelajaran seperti ini, merupakan model belajar yang konvensional di mana guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Di mana keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.
Seiring dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.
Media yang digunakan sebagai sumber belajar lain oleh seorang guru dapat dibedakan berdasakan fungsinya, media; (1) sebagai pelengkap, dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran. Sesungguhnya pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Di sisi lain, (2) berperan, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Seperti yang dikatakan oleh Arief Sadiman, media adalah alat yang digunakan untuk memudahkan siswa belajar. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. (3) pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana. Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Menurut Sudirman Siahaan ada beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan, (1) menyesuaikan jenis media dengan materi kurikulum, (2) kemampuan dalam pembuatan dalam pembiayaan, (3) ketersediaan perangkat keras untuk pemanfaatan media pembelajaran, (4) ketersediaan media pembelajaran di pasaran, dan (5) kemudahan memanfaatkan media membelajaran

1.Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum

Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Setiap materi yang akan diajarkan tersebut ia memiliki kekuatan. Kekuatan materi satu dengan yang lain berbeda, oleh sebab itu media yang digunakan untuk setiap yang di ajarkan tidaklah sama. Untuk itu perlu dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media, bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran. Sebagai contoh: pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan. Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi. Media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata. Melalui visualisasi yang disajikan media video, peserta didik akan lebih mudah menangkap materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2.Kemampuan dalam Pembuatan dan Pembiayaan
Dalam suatu pembelajaran tidak semua media yang akan dipakai harus dibeli. Hal ini sangat bergantung pada materi dan kreatif guru. Misalnya seorang guru akan mengajarkan volume balok, maka ia cukup menyuruh siswa-siswanya untuk membawa kardus atau bungkusan dari suatu produk barang. Ada beberapa tugas guru yang sangat utama adalah bagaimana ia dapat memetakan materi pembelajaran, sehingga ia mampu memutuskan mana yang menggunakan medai sederhana dan mana yang harus dengan bantuan teknologi. Selain itu ia juga dapat melakukan mana yang dapat dibuat, dan mana yang harus dibeli. Bila Media pembelajaran tersebut harus dibeli harus mempertimbangkan ketersedian biaya. Bila biaya ada harus membuat urutan prioritas mana yang lebih peting untuk dibeli.Hal ini sesungguhnya sudah di kuasai oleh seoang guru.

3.Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran

Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).
Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Hal lain yang harus juga diperhatikan adalah energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media tersebut.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran

Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah jangan langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan tersebut. Namun sebelum melakukan pembelian, sekolah harus memperhatikan ketersedian hardware untuk pengoperasiaan media tersebut. Bila hardware pendukungnya ada, perlu juga dipertimbangkan kemampuan sumber daya manusia untuk mengoperasikan. Bila semua unsur telah mendukung, baru dilakukan pembelian media tersebut.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran

Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.

B.Media Pembelajaran
Media berasal dari bahasa Latin medio? Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.
Dengan mempergunakan media pembelajaran banyak hal yang tidak mungkin dapat dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek yang disebabkan karena: (a) objek terlalu besar, (b) objek terlalu kecil, (c) objek yang bergerak terlalu lambat, (d) objek yang bergerak terlalu cepat, (e) objek yang terlalu kompleks, (f) objek yang bunyinya terlalu halus, (g) objek yang mengandung berbahaya dan resiko tinggi, (h) objek tersebut tidak dapat dilihat. Melalui pemanfaatan dan penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik. Selain hal di atas, ada beberapa kelebihan lain dari suatu media antara lain adalah media pembelajaran tersebut;
- memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
- menghasilkan keseragaman pengamatan.
- dapat menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit, dan realistis.
- membangkitkan keinginan dan minat baru.
- membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar

Dengan mempergunakan media akan memberikan pengalaman yang integral/ menyeluruh dari yang kongkrit sampai dengan abstrak. Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1993). Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersediaan fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

C. Pemanfatan Media untuk Pembelajaran

Pemahaman terhadap konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan (hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh. Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri siswa.
Ada tiga jenis media pembelajaran yang perlu dipahami oleh para guru, yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut, dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.

MEDIA SEDERHANA UNTUK SUATU PEMBELAJARAN



MEDIA SEDERHANA
UNTUK SUATU PEMBELAJARAN

Oleh: Faried Wadjdi•

A. Pendahuluan
Kenapa guru (calon guru) kita harus menggunakan media dalam suatu pembelajaran!, apakah tidak ada cara lain yang dapat dilakukan sehingga guru harus menggunakan media.
Sampai saat ini model pembelajaran yang masih dan banyak digunakan oleh guru adalah tatap muka. Dalam hal ini, seorang guru menyajikan materinya langsung pada peserta didiknya, dan peserta didiknya memperhatikan dan kemudian guru memberikan kesempatan bertanya pada peserta didiknya. Bila materi mengandung unsur praktek, guru kemudian membimbing para peserta didik melakukan praktek. Atau, seorang guru membelajarkan para peserta didiknya secara langsung dalam bentuk praktek. Pengetahuan teoritis dalam bentuk penjelasan diberikan selama atau setelah praktek. Model pembelajaran seperti ini, merupakan model belajar yang konvensional di mana guru merupakan sumber belajar utama dan satu-satunya bagi para peserta didik. Di mana keberadaan guru sangat menentukan bagi kelangsungan kegiatan pembelajaran.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan pengetahuan, maka berbagai model pembelajaran yang diterapkan di dalam kelas juga mengalami perkembangan. Seorang guru memang masih tetap merupakan salah satu sumber belajar tetapi tidak lagi sebagai satu-satunya sumber belajar bagi para peserta didiknya. Guru menggunakan sumber belajar lain yang disebut sebagai media untuk membelajarkan peserta didiknya. Dalam kaitan ini, ada beberapa model pembelajaran yang dapat diterapkan.
Media yang digunakan sebagai sumber belajar lain oleh seorang guru dapat dibedakan berdasakan fungsinya, media; (1) sebagai pelengkap, dimungkinkan saja terjadi bahwa peran media pembelajaran itu sangat kecil, yaitu hanya sebagai pelengkap atau bahkan hanya sebagai “tempelan” di mana media baru digunakan pada saat guru membutuhkannya atau berhalangan hadir mengajar di kelas. Dalam kaitan ini, tidak ada perencanaan tentang pemanfaatan media pembelajaran. Sesungguhnya pembagian peran antara guru dan media pembelajaran dalam menyelenggarakan kegiatan pembelajaran di kelas sangatlah ditentukan oleh guru. Di sisi lain, (2) berperan, media pembelajaran justru sangat berperan atau memainkan peranan yang dominan dalam kegiatan pembelajaran. Seperti yang dikatakan oleh Arief Sadiman, media adalah alat yang digunakan untuk memudahkan siswa belajar. Sedangkan guru hanya berperan sebagai fasilitator saja dalam kegiatan pembelajaran. (3) pembagian peran yang seimbang antara guru dan media pembelajaran. Dalam keadaan yang demikian ini, pemanfaatan media pembelajaran benar-benar dilakukan secara terencana. Sebelum memutuskan untuk memanfaatkan media dalam kegiatan pembelajaran di dalam kelas, hendaknya guru melakukan seleksi terhadap media pembelajaran mana yang akan digunakan untuk mendampingi dirinya dalam membelajarkan peserta didiknya. Menurut Sudirman Siahaan ada beberapa tips atau pertimbangan-pertimbangan yang dapat digunakan guru dalam melakukan seleksi terhadap media pembelajaran yang akan digunakan, (1) menyesuaikan jenis media dengan materi kurikulum, (2) kemampuan dalam pembuatan dalam pembiayaan, (3) ketersediaan perangkat keras untuk pemanfaatan media pembelajaran, (4) ketersediaan media pembelajaran di pasaran, dan (5) kemudahan memanfaatkan media membelajaran

1. Menyesuaikan Jenis Media dengan Materi Kurikulum
Sewaktu akan memilih jenis media yang akan dikembangkan atau diadakan, maka yang perlu diperhatikan adalah jenis materi pelajaran yang mana yang terdapat di dalam kurikulum yang dinilai perlu ditunjang oleh media pembelajaran. Setiap materi memiliki kekuatan yang berbeda satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu media yang digunakan setiap pertemuan tidaklah sama. Untuk itu perlu dilakukan telaah tentang jenis media apa yang dinilai tepat untuk menyajikan materi pelajaran yang dikehendaki tersebut. Karena salah satu prinsip umum pemilihan/pemanfaatan media adalah bahwa tidak ada satu jenis media yang cocok atau tepat untuk menyajikan semua materi pelajaran.
Sebagai contoh misalnya, pelajaran bahasa Inggris. Untuk kemampuan berbahasa mendengarkan atau menyimak (listening skill), media yang lebih tepat digunakan adalah media kaset audio. Sedangkan untuk kemampuan berbahasa menulis atau tata bahasa, maka media yang lebih tepat digunakan adalah media cetak. Sedangkan untuk mengajarkan kepada peserta didik tentang cara-cara menggunakan organs of speech untuk menuturkan kata atau kalimat (pronunciation), maka media video akan lebih tepat digunakan.
Contoh lain untuk pelajaran Biologi. Untuk mengajarkan bagaimana terjadinya proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia, maka media video dinilai lebih tepat untuk menyajikannya. Dengan menggunakan teknik animasi, maka media video dapat memperlihatkan atau memvisualisasikan proses yang tidak dapat dilihat dengan mata materi pelajaran yang berkaitan dengan proses. Melalui visualisasi yang disajikan media video, maka peserta didik akan lebih mudah memahami materi pelajaran tentang proses peredaran darah atau pencernaan makanan di dalam tubuh manusia. Demikian juga halnya dalam menjelaskan profil kehidupan binatang buas, maka media video merupakan jenis media yang lebih tepat untuk menyajikannya.

2. Kemampuan dalam Pembuatan dan Pembiayaan
Dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran hendaknya juga mempertimbangkan ketersediaan anggaran yang ada. Kalau seandainya guru harus membuat sendiri media pembelajaran, maka hendaknya dipikirkan apakah ada di antara sesama guru yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan untuk mengembangkan media pembelajaran yang dibutuhkan. Kalau ada, maka perlu dijajagi berapa besar biaya yang dibutuhkan untuk pembuatan medianya tersebut.

3.Ketersediaan Perangkat Keras untuk Pemanfaatan Media Pembelajaran
Tidak ada gunanya merancang dan mengembangkan media secanggih apapun kalau tidak didukung oleh ketersediaan peralatan pemanfaatannya di kelas. Apa artinya tersedia media pembelajaran online apabila di sekolah tidak tersedia perangkat komputer dan fasilitas koneksi ke internet yang juga didukung oleh Local Area Network (LAN).
Sebaliknya, pemilihan media pembelajaran sederhana (seperti misalnya: media kaset audio) untuk dirancang dan dikembangkan akan sangat bermanfaat karena peralatan/fasilitas pemanfaatannya tersedia di sekolah atau mudah diperoleh di masyarakat. Selain itu, sumber energi yang diperlukan untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan media sederhana juga cukup mudah yaitu hanya dengan menggunakan baterai kering. Dari segi ekspertis atau keahlian/keterampilan yang dibutuhkan untuk mengembangkan media sederhana seperti media kaset audio atau transparansi misalnya tidaklah terlalu sulit untuk mendapatkannya. Tidaklah juga terlalu sulit untuk mempelajari cara-cara perancangan dan pengembangan media sederhana.

4. Ketersediaan Media Pembelajaran di Pasaran
Karena promosi dan peragaan yang sangat mengagumkan/ mempesona atau menjanjikan misalnya, sekolah langsung tertarik untuk membeli media pembelajaran yang ditawarkan. Namun sebelum membeli media pembelajarannya (program), sekolah harus terlebih dahulu membeli perangkat keras untuk pemanfaatannya. Setelah peralatan pemanfaatan media pembelajarannya dibeli ternyata di antara guru tidak ada atau belum tahu bagaimana cara-cara mengoperasikan peralatan pemanfaatan media pembelajaran yang akan diadakan tersebut. Di samping itu, media pembelajarannya (program) sendiri ternyata sulit didapatkan di pasaran sebab harus dipesan terlebih dahulu untuk jangka waktu tertentu.

Kemudian, dapat saja terjadi bahwa media pembelajaran yang telah dipesan dan dipelajari, kandungan materi pelajarannya sedikit sekali yang relevan dengan kebutuhan peserta didik (sangat dangkal). Sebaliknya, dapat juga terjadi bahwa materi yang dikemas di dalam media pembelajaran sangat cocok dan membantu mempermudah siswa memahami materi pelajaran. Namun, yang menjadi masalah adalah bahwa media pembelajaran tersebut sulit didapatkan di pasaran.

5. Kemudahan Memanfaatkan Media Pembelajaran
Aspek lain yang juga tidak kalah pentingnya untuk dipertimbangkan dalam pengembangan atau pengadaan media pembelajaran adalah kemudahan guru atau peserta didik memanfaatkannya. Tidak akan terlalu bermanfaat apabila media pembelajaran yang dikembangkan sendiri atau yang dikontrakkan pembuatannya ternyata tidak mudah dimanfaatkan, baik oleh guru maupun oleh peserta didik. Media yang dikembangkan atau dibeli tersebut hanya akan berfungsi sebagai pajangan saja di sekolah. Atau, dibutuhkan waktu yang memadai untuk melatih guru tertentu sehingga terampil untuk mengoperasikan peralatan pemanfaatan medianya.
Dari gambaran di atas, yang akan dilakukan dalam pelatihan ini bagaimana seorang calon guru memiliki kemampuan dalam merancang media sederhana untuk suatu pembelajaran.

B. Media Pembelajaran
Media berasal dari bahasa Latin medio? Dalam bahasa Latin, media dimaknai sebagai antara. Media merupakan bentuk jamak dari medium, yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar.
Dengan mempergunakan media pembelajaran banyak hal yang tidak mungkin dapat dialami secara langsung di dalam kelas oleh para peserta didik tentang suatu objek yang disebabkan karena: (a) objek terlalu besar, (b) objek terlalu kecil, (c) objek yang bergerak terlalu lambat, (d) objek yang bergerak terlalu cepat, (e) objek yang terlalu kompleks, (f) objek yang bunyinya terlalu halus, (g) objek yang mengandung berbahaya dan resiko tinggi, (h) objek tersebut tidak dapat dilihat. Melalui pemanfaatan dan penggunaan media yang tepat, maka semua objek itu dapat disajikan kepada peserta didik.
Selain hal di atas, ada beberapa kelebihan lain dari suatu media antara lain adalah media pembelajaran tersebut;
- memungkinkan terjadinya interaksi langsung antara peserta didik dengan lingkungannya.
- menghasilkan keseragaman pengamatan.
- dapat menanamkan konsep dasar yang benar, kongkrit, dan realistis.
- membangkitkan keinginan dan minat baru.
- membangkitkan motivasi dan merangsang anak untuk belajar

Dengan mempergunakan media akan memberikan pengalaman yang integral/menyeluruh dari yang kongkrit sampai dengan abstrak. Ada beberapa kriteria untuk menilai keefektifan sebuah media. Hubbard mengusulkan sembilan kriteria untuk menilainya (Hubbard, 1993). Kriteria pertamanya adalah biaya. Biaya memang harus dinilai dengan hasil yang akan dicapai dengan penggunaan media itu. Kriteria lainnya adalah ketersediaan fasilitas pendukung seperti listrik, kecocokan dengan ukuran kelas, keringkasan, kemampuan untuk dirubah, waktu dan tenaga penyiapan, pengaruh yang ditimbulkan, kerumitan dan yang terakhir adalah kegunaan. Semakin banyak tujuan pembelajaran yang bisa dibantu dengan sebuah media semakin baiklah media itu.

C. Pemanfatan Media untuk Pembelajaran
Pemahaman terhadap konsep media pembelajaran tidak terbatas hanya kepada peralatan (hardware), tetapi yang lebih utama yaitu pesan atau informasi (software) yang disajikan melalui peralatan tersebut. Dengan demikian konsep media pembelajaran itu mengandung pengertian adanya peralatan dan pesan yang disampaikannya dalam satu kesatuan yang utuh.
Guru dapat lebih mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran melalui penggunaan media secara optimal, sebab media ini memiliki fungsi, nilai dan peranan yang sangat menguntungkan, terutama sekali mengurangi terjadinya verbalisme (salah penafsiran) terhadap bahan ajar yang disampaikan pada diri siswa.
Ada tiga jenis media pembelajaran yang perlu dipahami oleh para guru, yaitu media visual, media audio, dan media audio-visual. Dari masing-masing jenis media tersebut terdapat berbagai bentuk media yang dapat dikembangkan dalam kegiatan belajar-mengajar. Media mana yang akan digunakan tergantung kepada tujuan yang ingin dicapai, sifat bahan ajar, ketersediaan media tersebut, dan juga kemampuan guru dalam menggunakannya.
Setiap media memiliki karakteristik (kelebihan dan keterbatasan), oleh karena itu tidak ada media yang dapat digunakan untuk semua situasi atau tujuan